___________SAUDI DAN IKHWAN__________
SEJENAK BERSAMA SYEIKH AZ-ZAHAWY
Penulis : Taufik Muhammad Yusuf
(Mahasiswa International University of Africa Khartoum, Sudan)
Chapter 6.
***
Apakah kalian kenal dengan orang tua yang ada di photo? Apakah kalian pernah mempelajari kitab Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh? Bukan, dia bukan Syeikh Abdul Karim Zaidan, tapi gurunya, dan tentu saja sedikit aib bila kita tidak mengenal gurunya. Saya sebenarnya tidak tertarik membahas tentang individu dalam tulisan-tulisan ini. Akan tetapi, laki-laki tua yang kita lihat diphoto adalah seorang ulama Irak yang dulu sekali pernah mengunjungi Indonesia tahun 1954 diumurnya yang sudah sedemikian renta (72 tahun) hanya untuk menceritakan kepada kakek nenek kita kondisi Palestina dan Al-Quds.
***
Seperti yang telah kita tau dari tulisan sebelumnya, Konferensi Islami Umum Al-Quds tahun 1953 diprakarsai oleh Syeikh Muhammad As-Shawwaf dan gurunya Syeikh Amjad Az-Zahawi. Hasil keputusan kongres menetapkan 5 orang ulama yang bertugas untuk menyampaikan kondisi Palestina keseluruh dunia Islam dan mengumpulkan sumbangan untuk jihad Palestina (Perjalanan dimulai dari Irak, Pakistan, Malaysia, Singapura, Jakarta, Jogja dan Surabaya). Kelima ulama itu adalah Syeikh Basyir Al-Ibrahimi dan Syeikh Fudhail Al-Wartlany dari Aljazair, Syeikh Muhammad Mahmud As-Shawwaf dan Syeikh Amjad Az-Zahawi dari Iraq serta Syeikh Ali At-Thantawi dari Suriah. Dua orang dari Al-Jazair meminta izin tak bisa ikut. Sedangkan Syeikh Mahmud As-Shawwaf sempat ikut sampai ke Pakistan dan kemudian terpaksa balik ke Irak. Tinggallah Syeikh Ali At-Thantawi dan sosok yang akan kita bicarakan; Syeikh Amjad Az-Zahawi.(1)
Syeikh Ali At-Thantawi berkata: Sebelum saya memulai, saya bersaksi bahwa Syeikh adalah 'keberkahan zaman', aku tidak pernah menemukan ulama sepertinya. Aku mengambil banyak pelajaran saat membersamainya baik dalam akhlak ataupun cara berpikirku. Aku pertamakali mengenalnya saat ia mengajar dan menjadi dosen di Sharia College di Al-A'zamia Iraq dimana aku juga menjadi dosen sastra dan tinggal disana. Yaitu sekitar tahun 1937. Kemudian aku meninggalkan Irak dan kembali ke Syam (Suriah) dan tak pernah lagi melihatnya kecuali saat konferensi (AlQuds tahun 1953).
Sungguh aku takjub dengan aktifitas yang terlihat diusia rentanya. Diusia dimana keaktifan padam dalam jiwa seseorang. Aku mengenalnya sebagai seorang Qadhi yang mengasingkan diri dengan kitab-kitab, murid-murid dan anak-anaknya. Beliau menjabat sebagai Qadhi Mousul beberapa lama dan tidak mengenal seorangpun. Ketika beliau pensiun dan meninggalkan pekerjaan dimana orang-orang seumurnya beristirahat tiba-tiba jiwanya berontak. Tiba-tiba ia kembali muda, muda dalam jiwa dan obsesinya. Tiba-tiba ia berpindah dari sebuah 'sangkar' puncak kesendiriannya menuju hidup yang penuh dengan pergaulan. Tiba-tiba ia menjadi Ketua Organisasi Penyelamatan Palestina, tiba-tiba ia adalah ketua Jam'iyah Al-Adab Al-Islamiyah, tiba-tiba ia adalah ketua Jam'iyah Al-Ukhuwah Al-Islamiyah, tiba-tiba ia adalah ketua Jam'iyah Tarbiyah Al-Islamiyah, tiba-tiba ia mereformasi sekolah-sekolah kementerian waqaf, ia mendirikan sekolah-sekolah dasar dan menengah, tiba-tiba ia melakukan perjalanan ke India, berulangkali ke Syam, Hijaz dan Mesir.
(Pada awalnya) yang terlintas di benakku (entah darimana bayangan ini datang) ia adalah seorang yang radikal, terlalu keras dalam pendapatnya. Ketika aku melihatnya dalam konferensi (Al-Quds tahun 1953) aku menyalaminya, memperkenalkan diri dan mengingatkan diriku padanya. Tiba-tiba ia berkata: Aku tidak mengingatmu.!
Bayangannya (yang angkuh) menetap dalam jiwaku dan aku tidak akan menyembunyikannya. Akupun menjauhinya. Kukira, ia adalah pribadi yang angkuh, egois dan masa bodoh dengan orang lain. Kemudian aku mengetahui setelah lama membersamainya bahwa ia adalah seorang yang cepat lupa, jujur dan tak tau basa-basi dan bermanis muka. Ketika ia tidak mengingatku, maka mustahil ia akan bilang bahwa ia mengingatku atau diam dan berbasa-basi. Kemudian akupun menyertainya dalam banyak kesempatan hingga ia mendapatkan sebuah tempat dalam hatiku yang hanya terisi beberapa orang saja yang pernah kukenal.
Ketika pertamakali aku melihatnya dalam konferensi dengan lilitan sorbannya yang kasar, dimana sisi-sisinya telah kotor oleh peluh, warnanya yang berubah, pakainnya yang lusuh serta rambutnya yang tidak mengenal tukang pangkas berbulan-bulan aku mengira bahwa beliau adalah seorang fakir. Akupun meminta izin padanya untuk memberikan sebuah baju padanya. Iapun mengetahui apa yang kurasakan. Beliau berkata:
Afandi (tuan; panggilan sopan dizaman itu), kaukira aku miskin? Aku punya tanah seluas enam belas ribu hektar.
Kemudian aku tahu seperti itulah beliau dengan ketidakpeduliannya. Ketika perjalanan Fi Sabilillah dimulai saat itu sungai Tigris meluap dan menenggelamkan Baghdad. Saat kami sampai di Karachi (Pakistan) berulangkali aku bertanya padanya nasib ribuan hektar tanahnya. Apakah ikut tenggelam oleh banjir semuanya atau ada yang tersisa. Dengan marah ia menjawab: Aku keluar Fi Sabilillah. Jangan kau sibukkan kepalaku dengan (tanah tersebut).
Adapun perihal wudhu' dan sholatnya maka sungguh aneh. Beliau sangat was-was terhadap kesucian, bukan najis. Jika beliau belum melihat najis dengan jelas maka beliau tak peduli. Karenanya, beliau sholat ditanah ataupun jalanan bandara. Akan tetapi musibah terjadi jika dipastikan pakaiannya bernajis. Disitulah waswasnya. Seringkali dalam pertemuan dengan para raja, para presiden, perdana menteri ataupun konferensi pers tiba-tiba beliau keluar dengan separuh pakaiaanya yang basah dan masih meneteskan air. Hingga akupun mencelanya. Beliau menjawab (dengan enteng): Afandi.! Kena najis.
Jika ia mendengar panggilan sholat dan waktu telah masuk ia langsung berdiri seberapapun kondisinya. Ia meninggalkan jamuan makan para raja atau pertemuan resmi. Berulangkali aku melihatnya. Di jamuan makan Raja Yordania Raja Husein di Amman, jamuan makan perdana menteri Pakistan, dan jamuan-jamuan resmi lainnya. Ia melihatnya sebagai hal biasa yang tidak peduli jika hal itu bertabrakan dengan kebiasaan. Dan kau takkan mungkin untuk mencegahnya.
Terkadang, ia harus 'diurus' seperti halnya anak kecil. Pernah suatu kali kami naik pesawat. Kukatakan padanya: kencangkan sabuk pengaman.
Kemudian aku lupa memberitahunya agar melepaskan sabuk pengamannya jika pesawat telah terbang. Dan diapun terikat selama beberapa jam. Ia menoleh dan berkata: Afandi..! Sabuk pengaman ini..!
Akupun membukanya.
Adapun sikap wara'nya maka itu adalah sikap wara'nya sejati tanpa dibuat-buat. Ia menginfaqkan dana Organisasi Penyelamatan Palestina yang didirikannya dengan leluasa. Namun ia pantang mengeluarkan sebuah se senpun duit untuk memangkas rambutnya. Karena hal tersebut tidak termasuk nafaqah safar. Hingga aku terpaksa bersumpah untuk membayar biaya pangkas rambutnya di Mumbai India, barulah ia mau.
Perjalanannya adalah untuk isu Palestina. Maka jika tak ada kemaslahatan untuk Palestina, ia takkan beranjak dari tempatnya semeterpun. Hingga ke Taj Mahal sekalipun. Ia tak melihatnya dan tak memberikan kesempatan bagiku untuk melihat bangunan termegah dimuka bumi itu. Kami berada di Delhi sedangkan Taj Mahal di Agra bisa ditempuh hanya 2 jam perjalanan dengan mobil. Dia tetap tidak mau melihat Taj Mahal karena tidak ada sangkut paut dan maslahat dengan isu Palestina. Meskipun orang lain datang jauh dari belahan dunia untuk melihat Taj Mahal.
Jika ia berdiri Untuk sholat, maka ia mulai dengan membersihkan hatinya. Lalu setengah berteriak ia bertakbir 'Allahu Akbar' dan kaupun merasa takbirnya seperti bom yang dilemparkan tepat diwajah setan.
Beliau dikenal cepat lupa. Pernah suatu hari aku mengunjunginya disebuah hotel di Damaskus. Pada waktu itu musim dingin dan kulihat kemejanya terbuka bagian dada. Kutanyakan:
Bagaimana kalau kita membeli jaket?
Beliau menjawab: jangan.
Kukatakan: Bagaimana kalau aku memeriksa koper siapa tau ada jaket lain?
Beliau menjawab: Aku tak punya.
Kukatakan: bolehkah aku membutuhkan untuk melihatnya?
Beliau berkata: Afandi..! Aku tidak punya.
Akupun membuka kopernya dan menemukan dua jaket. Beliaupun heran dan berkata:
Demi Allah aku tidak tau darimana datangnya jaket itu.
Ketika kami berada di Mumbai. Ia berkata: Ayo kita ke Konsulat Saudi lalu ke Konsulat Iraq. Dalam perjalanan, kami berpas-pasan dengan konsulat Iraq. Kukatakan padanya. Bagaimana kalau kita masuk konsulat Irak duluan? Beliau menjawab: Bismillah. Kamipun masuk dan mengobrol tentang Irak. Ketika keluar, beliau berkata: Ayo kita ke Konsulat Irak..! Kujawab: Kita barusan dari konsulat Irak. Beliaupun marah dan berkata: Kenapa tidak kau bilang bahwa kita di konsulat Irak. Aku mengiranya di konsulat Saudi..!
Akan tetapi meskipun pelupa, beliau mampu mengingat masalah-masalah ilmiyah yang pernah ia pelajari 60 tahun yang lalu seolah ia baru mempelajarinya dua hari kemarin. Beliau menguasai fiqih Hanafi dan ilmu-ilmu lain. Awalnya, beliau menjadi pengacara, lalu menjadi Qadhi, kemudian menjadi ketua pengadilan kasasi selama 20 tahun. Lalu menjadi dosen fakultas hukum, lalu menjadi guru sekolah di sekolah kementerian waqaf yaitu Madrasah As-Sulaimaniyah. Ketika undang-undang baru melarang untuk merangkap jabatan, ia kemudian memilih untuk mengajar di Sekolah karena sekolah tersebut didirikan oleh ayahnya dan karena pekerjaan mengajar murni karena Allah. Ia meninggalkan jabatannya sebagai Ketua Pengadilan Kasasi.(2)
Beliau wafat tahun 1967. Salah seorang murid beliau; Syeikh Abdul Karim Zaidan berkata: Tak ada seorangpun yang pernah kulihat mampu mempengaruhiku seperti pengaruh Syeikh Az-Zahawi rahimahullah padaku. Mataku tidak pernah melihat orang sepertinya betapapun banyaknya orang yang pernah kulihat dan pergauli. Aku melihat padanya apa yang kucari selama bertahun-tahun dan ingin kugapai dengan tangan dan kulihat dengan mataku.(3)
Salah satu murid Syeikh Az-Zahawi adalah Syeikh Muhammad Mahmud As-Shawwaf yang menjadi pemimpin batalion Mujahidin Ikhwan dalam perang Palestina tahun 1948 dan menjadi Muraqib Am pertama Ikhwan Iraq. Tahun 1959 ketika pemerintahan komunis menguasai Irak dan keamanannya terancam, beliau melarikan diri ke Suriah lalu ke Saudi dan diterima dengan baik oleh raja Faisal. Raja Faishal yang tahu dengan baik kapasitas Syeikh As-Shawwaf kemudian mengangkatnya menjadi penasehatnya.
Footnote:
1. Shuwar Min As-Syarq, Fi Andunisiya, Ali At-Thantawi, hal: 10, cet pertama, Dar Al-Manarah, Jeddah, Tahun 1992.
2. Ibid. Hal 43-50 dengan sedikit perubahan.
3. Min A'lam Ad-Dakwah, Abdullah Al-Aqeel, hal 328, Cet ke tiga, Dar At-Tauzi' tahun 2005.
Saudi dan Ikhwan 6 -Sejenak Bersama Syaikh Az Zahawy-
Reviewed by al irtifaq
on
13.55
Rating:
Tidak ada komentar:
Tinggalkanlah Komentar yang ahsan. Buuriktum Fiih....